www.podcastnews.id
The Best Place for Podcast

KPK Jelaskan Beda Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa dengan Oknum Pejabat DJP

0

PODCASTNEWS.ID – Kasus operasi tangkap tangan KPK dan penetapan tersangka Kepala Basarnas Marsekal Maddya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto terus menuai polemik. Terlebih ketika Henri keberatan untuk diperiksa KPK lalu keinginannya itu disambut baik oleh Puspom TNI.

KPK menyebut jika perkara suap Henri dan Afri seharusnya diproses di peradilan umum karena bukan menyangkut tindak pidana militer. Sebab, pengadaan barang dan jasa itu dilakukan di lembaga pemerintah yang menimbulkan kerugian negara.

Namun berdasarkan keberatan pihak Puspom TNI tersebut baik Henri maupun Arif kini akhirnya penanganan perkara tindak pidana korupsi kasus suap pengadaan barang dan jasa alat pendeteksi korban reruntuhan di Basarnas itu ditangani oleh pihak TNI.

Sebelumnya, publik sempat marah atas berbagai kasus korupsi di lingkungan pejabat Direktorat Jendral Pajak. Publik mengira oknum pejabat pajak tersebut mencuri uang pajak yang dibayar oleh rakyat. Sedangkan menurut KPK, pencuri uang pajak rakyat yang paling nyata justru ada di kasus korupsi pengadaan barang dan jasa instansi pemerintahan.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengungkapkan, salah satu modus korupsi yang kerap dilakukan pejabat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yaitu meringankan biaya yang harus dibayarkan oleh wajib pajak.

“Kalau masyarakat ngomong, ‘uang pajak saya dikorupsi oleh Dirjen Pajak’, bukan. Kawan-kawan yang bayar pajak itu memangnya setor di Dirjen Pajak? Bukan. Langsung lewat perbankan,” kata Alex saat ditemui awak media di gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Selasa (28/2/2023).

Tidak Taat

Alex menjelaskan, korupsi di sektor pajak terjadi karena terdapat perusahaan atau perorangan yang tidak taat membayar pajak. Kemudian, pejabat DJP melakukan negosiasi dengan para wajib pajak dan menurunkan besaran pajak yang harus mereka bayarkan.

Nantinya, lanjut Alex, pejabat DJP akan mendapatkan ‘jatah’. Artinya, baik wajib pajak maupun pejabat DJP sama-sama diuntungkan dengan memangkas pemasukan negara. “Sebetulnya sama-sama untung itu antara pegawai pajak dan wajib pajak. Harusnya dia (wajib pajak) bayar 1.000 misalnya, dengan nego dia cukup bayar 500,” tutur Alex.

Alex menekankan, peluang tindak pidana korupsi di DJP juga timbul karena ketidakpatuhan para wajib pajak. Menurutnya, jika para wajib pajak membayar tanggungan mereka sesuai waktu dan besaran yang ditentukan, maka pejabat DJP tidak bisa melakukan korupsi.

Alex juga menjelaskan bahwa anggapan uang pajak masyarakat yang dikorupsi bukan terjadi atau dilakukan oleh pejabat DJP. Pajak yang dibayarkan masyarakat biasanya dikorupsi oleh pejabat yang melakukan pengadaan barang dan jasa.

Salah satunya dengan cara menggelembungkan anggaran atau harga barang yang dibeli. “Uang pajak yang korupsi koruptor itu untuk pengadaan barang dan jasa, di-mark up dan sebagainya. Sumbernya dari uang pajak yang dikorupsi,” ungkap Alex.

Sebelumnya, harta kekayaan dan gaya hidup mewah para pejabat di Kementerian Keuangan menjadi sorotan publik. Hal ini bermula dari kasus penganiayaan yang dilakukan anak pejabat pajak, Rafael Alun Trisambodo yaitu Mario Dandy Satrio.

Rafael Mario diketahui publik kerap memberikan gaya hidup mewah di media sosial seperti menggunakan mobil Rubicon dan Harley Davidson. Dalam catatan LHKPN KPK, Rafael tercatat memiliki harta Rp 56,1 miliar. Jumlah itu dinilai tidak sesuai dengan profilnya sebagai pejabat eselon II. Hingga akhirnya Rafel menjadi tersangka KPK atas dugaan kasus tindak pidana pencucian uang yang hingga kini penanganann perkaranya terus bergulir.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.