PODCASTNEWS.ID – Masuknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ke dalam Kabinet Indonesia Maju, di sisa 8 bulan pemerintahan seolah mempertegas sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tak mau lagi dikaitkan dengan PDIP.
Seperti diketahui, nama Ketua Umum Partai Demokrat tersebut sudah beberapa kali masuk dalam radar menteri Jokowi, namun namanya selalu mental lantaran ada penolakan dari internal partai koalisi pemerintah yang dipimpin oleh PDIP.
Meski penentuan menteri merupakan hak prerogatif Presiden, namun dalam prakteknya selama ini, peran dari partai koalisi pemerintah sangat kuat dalam menentukan siapa yang berhak mendapatkan jatah menteri di kabinet.
Kita tentu ingat kejadian yang menimpa mantan politisi PDIP Maruarar Sirait, yang gagal diangkat menjadi menteri di era Kabinet Kerja Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla pada 26 Oktober 2014 silam.
Isu yang berembus saat itu, Maruarar hendak diberi kursi Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo). Bahkan saat itu Ara panggilan akrabnya, sudah hadir di Istana Merdeka mengenakan atasan warna putih dan bawahan hitam sebagaimana pakaian yang dikenakan para menteri ketika diumumkan oleh Kepala Negara. Namun, hingga jajaran menteri diumumkan pada Minggu sore, nama Maruarar kemudian digantikan oleh Rudiantara.
Sepuluh tahun berselang, setelah Ara resmi menyatakan mundur sebagai kader PDIP, putra dari salah satu pendiri PDIP itu akhirnya buka suara, bahwa penyebab kegagalannya menduduki kursi menteri di Kabinet Kerja Jokowi-JK saat itu lantaran tidak mendapatkan restu dari petinggi partainya.
Mengutip dari potongan video YouTube Total Politik, awalnya Ara membeberkan momen ketika dirinya mendatangi kediaman Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
“Sampai Jakarta saya ke rumah, dari rumah saya pakai baju merah, terus saya datang ke tempat Ibu Mega di Teuku Umar, Menteng,” ujar Maruarar.
Politikus kelahiran 1969 itu lantas menceritakan bahwa saat itu dirinya tak bisa bertemu dengan putri Presiden Soekarno tersebut. Hingga akhirnya ia ditelepon Jokowi untuk datang ke Istana Negara.
“Tapi saya menunggu cukup lama, tidak bisa bertemu. Kemudian Pak Jokowi telepon ‘Di mana Ra? Ketemu enggak?’. Ya sudah oke saya dipanggil ke Istana,” terang Maruarar.
Tiba di Istana Negara, Maruarar Sirait langsung menghadap Jokowi dan Jusuf Kalla. Orang nomor 1 RI itu mengujarkan jika dirinya hendak dilantik menjadi menteri, tapi ada pihak yang tak menyetujuinya.
“Pak Jokowi dan Pak JK mengatakan, ada saksinya dua-duanya dan saya yakin orang yang kredibel untuk bicara. ‘Kami mau melantik Anda’,” ucap Maruarar.
“Tapi ada pihak yang tidak ingin Anda dilantik. Saya bilang ‘Oh enggak papa Pak kalau begitu, tapi kenapa saya dipanggil harusnya kan diselesaikan dulu,” pungkas Ara.
Dari pengakuan Maruarar Sirait tersebut, publik kemudian menyimpulkan bahwa selama ini Presiden Jokowi sendiri tak bisa leluasa dalam menentukan komposisi menteri di kabinetnya, karena tersandera oleh kekuatan koalisi partai pendukung terutama PDIP yang dua kali mengantarkannya ke kursi orang nomor satu di Republik ini.
Kini di sisa 8 bulan pemerintahannya, Jokowi mulai unjuk gigi dengan memasukan nama AHY di jajaran Kabinet Indonesia Maju atau kabinet pemerintahan Jokowi jilid II. Kabinet tersebut didukung oleh koalisi pemerintahan yang terdiri dari PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN dan PPP.
Seperti diketahui, Demokrat yang dipimpin AHY, selama hampir 10 tahun terakhir berada di jalur oposisi bersama PKS.
Namun menjelang Pilpres 2024, peta politik kemudian berubah, di mana partai-partai koalisi pemerintah itu akhirnya terpecah menjadi tiga kubu yang mengusung jagoannya masing-masing.
PDIP bersama PPP mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Nasdem menggandeng PKS dan PKB mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Sementara Gerindra, Golkar, PAN di detik-detik terakhir mengajak Demokrat ke dalam koalisi untuk mengusung Prabowo Subianto dan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
Meski hingga saat ini Jokowi masih mempertahankan sejumlah menteri dari PDIP, PPP, Nasdem dan PKB dalam kabinetnya, namun masuknya Demokrat ke dalam koalisi pemerintah bisa menjadi pertanda bahwa Jokowi dalam tanda petik sengaja menunjukan arah pintu keluar bagi menteri-menteri dari partai yang tak sejalan dengannya di Pilpres 2024.
Dengan kata lain, Jokowi seperti menantang balik partai yang menterinya masih di dalam koalisi pemerintah, namun mulai bersuara sumbang dengan mendorong penggunaan hak angket DPR untuk mengusut dugaan kecurangan penyelenggaraan Pilpres 2024.
Wacana penggunaan hak angket DPR itu pertama kali disuarakan oleh capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo yang menyebut PDIP akan memimpin usulan hak angket tersebut.
Ganjar menilai hak angket DPR bisa menjadi salah satu upaya untuk meminta pertanggungjawaban para penyelenggara pemilu ihwal dugaan pelaksanaan Pilpres 2024 yang disebutnya sarat dengan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Oleh sebab itu, mantan gubernur Jawa Tengah ini ingin partai politik pengusungnya yang ada di DPR RI yaitu PDIP dan PPP untuk mengusulkan hak angket.
“Jika DPR tak siap dengan hak angket, saya mendorong penggunaan hak interpelasi DPR untuk mengkritisi kecurangan pada Pilpres 2024,” kata Ganjar, Senin (19/2/2024), dikutip dari rilis medianya.
Usulan Ganjar itu lalu didukung oleh capres nomor urut 1 Anies Baswedan. Menurut Anies, ide tersebut merupakan inisiatif yang baik, mengingat partai utama pengusung Ganjar yakni PDIP juga memiliki kekuatan besar di parlemen.
“Kami melihat itu adalah inisiatif yang baik, dan ketika Pak Ganjar menyampaikan keinginan untuk melakukan angket itu, fraksi PDI Perjuangan adalah fraksi yang besar,” katanya di Posko Tim Hukum Nasional AMIN, Jakarta Selatan, Selasa (20/2/2024).
Melihat pergerakan kubu Ganjar dan Anies yang kompak memilih jalur hak angket ketimbang sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak hasil Pilpres 2024, Jokowi rupanya bergerak lebih cepat.
Dalam senyap, Jokowi langsung mengadakan pertemuan dengan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh di Istana pada Minggu (18/2/2024).
Jokowi paham bahwa Nasdem lah satu-satunya pintu yang bisa menggagalkan wacana hak angket DPR yang bisa berujung pada pemakzulannya dari kursi RI-1.
Secara matematika, saat ini kubu koalisi pendukung pasangan calon nomor urut 1 dan nomor urut 3, jika bergabung memiliki kekuatan 314 kursi di DPR RI. Jumlah tersebut merupakan penggabungan dari kekuatan kursi PDIP 128 kursi, Nasdem 59 kursi, PKB 58 kursi, PKS 50 kursi dan PPP 19 kursi.
Sementara kubu pasangan calon nomor urut 2, yang menolak usulan hak interpelasi dan hak angket, hanya memiliki kekuatan 261 kursi di DPR RI, dengan rincian Golkar 85 kursi, Gerindra 78 kursi, Demokrat 54 kursi dan PAN 44 kursi.
Pertemuan senyap Jokowi dan Surya Paloh yang tanpa diketahui oleh PKB dan PKS, disinyalir bertujuan untuk menggagalkan wacana hak interpelasi hingga hak angket DPR tersebut. Sebab, jika Nasdem tetap berkomitmen mengawal pemerintahan Jokowi hingga tuntas, wacana yang disuarakan oleh Ganjar dan Anies dipastikan bakal layu sebelum berkembang.
Dengan tambahan 59 kursi Nasdem maka kekuatan parpol yang menolak hak angket menjadi 320 kursi, berbanding 255 kursi yang setuju untuk menggulirkan hak angket DPR.