PODCASTNEWS.ID –
Pemerhati Telematika dan Multimedia Independen, KRMT Roy Suryo Notodiprojo, membenarkan pernyataan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, terkait situasi politik pada masa kampanye Pemilu 2024 di Indonesia, semakin mencekam.
Seperti diberitakan sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, menilai momentum untuk meraih simpati suara serta edukasi politik bagi publik lewat adu gagasan dan preferensi kebijakan justru berujung dengan maraknya pelaporan polisi. Pelaporan yang memasuki ranah kriminalisasi ini tampak ditujukan terutama terhadap pihak oposisi (01 dan 03), bahkan penyelenggara Pemilu.
Situasi tersebut dirasakan sendiri oleh Roy, di mana ia juga menjadi terlapor atas tuduhan ujaran kebencian terhadap Cawapres 02.
“Apa yang disampaikan oleh Mas Julius Ibrani (Ketua PBHI), Gufron Mabruri (Imparsial), Usman Hamid (Amnesty Internasional Indonesia), Citra R (Direktur LBH Jakarta), M. Isnur (YLBHI), Dimas Bagus Arya (KontraS), Al Araf (Centra Initiative) dan kawan-kawan dari “Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan” ini memang benar, tidak hanya 100 persen, tetapi bisa sampai 111 persen (kalau menggunakan analogi salahsatu Capres dalam bebat kemarin),” ujar Roy kepada redaksi Podcastnews.id, Kamis 11 Januari 2024.
Menurut Roy, dengan menggunakan relasi kuasa para “Tukang Lapor” dari Paslon tertentu tersebut, secara membabi-buta melaporkan siapa saja, bahkan capres lawan, ke pihak-pihak terkait seperti Kepolisian, Bawaslu dan DKPP. “Dan serta-merta pihak-pihak yang dilapori tersebut tampak langsung gercep memprosesnya. Di mana hal yang sangat berbeda dirasakan bila kondisi sebaliknya,” tegasnya.
Roy juga mempertanyakan soal komitmen salah satu paslon, yang sebelumnya berjanji akan menjadikan Pemilu 2024 ini sebagai pesta demokrasi yang riang gembira, santuy, kalau ada yang kritik dijogetin saja, senyumin saja. “Namun kenyataannya sangat berbalik 180 derajat. Ironis. Kritik teknis yang terbukti benar (dan sudah dikoreksi pelaksanaannya sendiri oleh KPU-pun, misalnya jumlah microphone saat Debat), malah dengan mudah distempel dengan hoaks. Padahal hoaks-hoaks lain yang disampaikan dari pihak pelapor sebenarnya jauh lebih nyata dan masif, namun justru dianggap fakta,” tukas Roy.
Dia mencontohkan, soal data-data Kunjungan Pariwisata yang salah, adanya ordal dalam perusahaan di dalam institusi, yang saat debat tidak berani diakui, padahal faktanya ada, namun dianggap itu adalah hal yang harus dirahasiakan.
Roy juga sepakat jika 6 laporan polisi yang dilakukan oleh pendukung paslon tertentu, terkesan dipaksakan karena tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) yang tepat sebagai korban atau mengalami kerugian.
Beberapa kasus di antaranya adalah, kasus kriminalisasi terhadap Aiman Wicaksono, lalu kasus pelaporan terhadap Ketua dan Anggota Bawaslu yang memutus bersalah pembagian susu di CFD, kasus pelaporan terhadap Bawaslu Batam dan Kepri terkait pencopotan baliho. “Termasuk kasus pelaporan terhadap saya sendiri (Roy Suryo) dengan tuduhan ujaran kebencian padahal hal tersebut fakta dan sudah dikoreksi oleh KPU,” paparnya.
“Lucunya sebenarnya jelas-jelas para pelapor tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) yang tepat sebagai korban atau mengalami kerugian. Namun tetap diproses oleh aparat hingga naik status penyidikan seperti Kasus Aiman. Kemudian baik dari indikator pelapor, terlapor maupun materi yang dilaporkan jelas menimbulkan masalah obyektivitas dan independensi Aparat yang menerima dan memeriksa laporan,” tegas Roy.
Para pelapor, lanjut Roy, rata-rata merupakan pendukung Paslon tertentu yang terafiliasi dengan kekuasaan. “Kuat sekali nuansa politiknya dan berpotensi dipolitisasi proses hukumnya. Inilah yg disebut dengan Relasi Kuasa, di mana Pihak Pelapor merasa di atas angin karena merasa terjamin Laporan-laporannya akan bisa diproses, meski syarat formil apalagi materiilnya sebenarnya tidak memadai,” pungkasnya.