Kejagung Sebut Vonis Nihil Bentjok Keliru
PODCASTNEWS.ID – Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta keliru menerapkan hukuman dengan menjatuhkan vonis nihil terhadap terdakwa Benny Tjokrosaputro (Bentjok) dalam kasus korupsi PT Asabri (Persero).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (14/1/2022), menyatakan kekeliruan itu menjadi salah satu alasan jaksa penuntut umum mengajukan banding atas putusan tersebut.
“Majelis hakim Pengadilan Tipikor keliru dalam menerapkan hukum karena Benny Tjokrosaputro terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa,” kata Ketut. Ia menjelaskan dakwaan jaksa, yakni primer pasal 2 dengan ancaman minimal empat tahun penjara sehingga penerapan hukuman nihil bertentangan dengan Undang-Undang Tipikor.
Selain keliru, lanjut Ketut, putusan tersebut mengusik dan mencederai rasa keadilan masyarakat. Karena Bentjok telah melakukan pengulangan tindak pidana dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya.
Menurut ia, setelah diputus dengan hukuman seumur hidup, seharusnya ada penambahan hukuman dengan hukuman mati terhadap terdakwa sesuai dengan doktrin hukum pidana. Tidak hanya itu, kata dia, proses hukum atas Bentjok dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya sudah berkekuatan tetap (inkracht), tetapi Benny masih memiliki upaya hukum luar biasa dan mengajukan hak-haknya untuk mendapatkan grasi, remisi, dan amnesti.
“Sehingga apabila dikabulkan maka akan membahayakan bagi penegakan hukum dan seharusnya ada persyaratan khusus dalam putusan a quo,” ujarnya. Atas putusan majelis hakim tersebut, Kejaksaan Agung telah menentukan sikap dengan mengajukan banding.
Ketidakpastian Hukum
Kejaksaan Agung sependapat dengan pandangan beberapa elemen akademisi dan praktisi untuk menguji putusan tersebut ke tingkat pengadilan banding. “Putusan tersebut jauh dari rasa keadilan dan mengakibatkan ketidakpastian hukum,” tegas Ketut.
Ketidakpastian hukum dimaksud, yakni putusan yang merugikan negara lebih dari Rp40 triliun apabila diakumulasikan dengan dua perkara yang dilakukan Bentjok secara absolut mengingkari nurani keadilan itu sendiri.
Hal ini tidak saja merugikan keuangan negara, tetapi merugikan masyarakat luas, terutama pensiunan TNI dan Polri yang selama ini menjaga keamanan negara. Ia menyebut ada kesalahan yang sangat fatal dalam penerapan pasal 67 KUHP, selain bertentangan dengan asas hukum lex specialis derogat lex specialis yang berlaku dalam UU Tipikor pada perkara a quo, juga tidak secara tegas pasal tersebut diterapkan bagi tindak pidana yang dilakukan secara akumulasi dalam perkara terpisah.
Selanjutnya, putusan tersebut akan menambah ketidakpastian hukum karena hak terpidana dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya dalam mengajukan upaya hukum luar biasa (PK) dan hak dalam mengajukan hak-haknya, seperti remisi, grasi dan amnesti, justru akan melemahkan putusan yang pertama dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya.